Cari Blog Ini

Senin, 21 Januari 2013

pemikiran pendidikan Ibnu Maskawaih


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan akhlak merupakan permasalahan utama yang selalu menjadi tantangan manusia dalam sepanjang sejarahnya. Sejarah bangsa-bangsa yang diabadikan dalam Al-Qur’an seperti kaum ‘Ad, Samud, Madyan, dan Saba maupun yang didapat  dalam buku-buku sejarah menunjukkan bahwa suatu bangsa akan kokoh apabila akhlaqnya kokoh dan sebaliknya suatu bangsa akan runtuh apabila akhlaknya rusak. Nabi Muhammad SAW yang diyakini oleh umat Islam sebagai pembawa risalah Tuhan yang terakhir, sudah sejak awal abad ke 7 Masehi secara tegas telah menyatakan bahwa tugas utamanya adalah sebagai penyempurna akhlak manusia. Dalam Al-Qur’an terdapat pula pernyataan bahwa, ia adalah seorang yang berakhlak agung, karena itu ia patut dijadikan contoh.
Kebesaran Nabi Muhammad tentunya disebabkan oleh ketinggian akhlaknya. Karena itu tujuan pendidikan akhlak Islam harus diarahkan kepada terciptanya manusia yang berakhlak agung seperti Nabi Muhammad SAW. Hanya saja pemahaman dan cara yang ditempuh untuk mencapai akhlak mulia tersebut, antara satu orang dengan lainnya bisa berbeda. Diantara pentingnya pemikiran Ibnu Miskawaih dibidang pendidikan akhlak tidak merintangi, tetapi mungkin memberikan motivasi bagi adanya pemikiran pembaharuan dalam Islam.
Kalau diperbandingkan dengan mazhab pemikiran di bidang pendidikan akhlak, maka secara umum pendidikan akhlak juga dapat dibagi dua, yaitu pendidikan akhlak mistik dan pendidikan akhlak rasional. Pembedaan pendidikan akhlak mistik dan rasional tersebut bukannya tidak mempunyai konsekuensi sebagaimana dalam teologi rasional, akhlak rasional dapat membawa konsekuensi bagi  pertumbuhan kreativitas dan inisiatif sedangkan akhlak mistik kurang mendorong manusia untuk dinamis. Yang kedua ini dalam teologi dimasukkan ke dalam teologi tradisional.[1]
Dari uraian di atas dapat diambil pemahaman bahwa antara pendidikan akhlak rasional dan mistik disebabkan adanya perbedaan pendekatan tentang Islam. Pendidikan akhlak rasional melakukan pendekatan ajaran Islam bukan semata sebagai doktrin yang absolut (pendekatan kemanusiaan). Sementara pendidikan akhlak mistik melakukan pendekatan terhadap ajaran Islam sebagai ajaran absolut (pendekatan ketuhanan). Pendekatan kemanusiaan memiliki indikasi “manusia bersifat otonom”, sedangkan pendekatan ketuhanan menempatkan manusia pada makhluk heteronom.

B.     RUMUSAN MASALAH
Makalah ini dapat dirumuskan sebagaimana berikut :
1.      Riwayat hidup Ibnu Miskawaih dan karya-karyanya
2.      Konsep manusia menurut Ibnu Miskawaih
3.      Pokok keutamaan pendidikan akhlaq menurut Ibnu Miskawaih
4.      Apa semangat (spiritualitas) pendidikan akhlak menurut pemikiran Ibnu Miskawaih

























BAB II
PEMBAHASAN

1.      Riwayat hidup Ibnu Miskawaih dan karya-karyanya
Nama Lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H/932 M di Rayy dan meninggal di Istafhan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H/16 Februari 1030 M, Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang besar pemukanya bermazhab Syi’ah.
Latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara rinci, cuma sebagian antara lain terkenal memepelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar dan mempelajari kimia dari Abi Thayyib.
Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihiyyah. Selanjutnya, Ibnu Misakawaih juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.
Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah. Semua karyanya tidak luput dari kepentingan pendidikan akhlak (tahzib al-Akhlak), diantara karyanya adalah:
1)      al-Fauz al-Akbar
2)      Al-Fauz al-Asghar
3)      Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulis pada tahun 369 H/979 M)
4)      Usn al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata mutiara).
5)      Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik)
6)      al-Musthafa (syair-syair pillihan).
7)      Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak)
8)      al-jami’
9)      al-Syiar (tentang aturan hidup)
10)  Tentang pengobatan sederhana (mengenai kedokteran)
11)   
12)  Tentang komposisi Bajat (mengenai seni memasak)
13)  Kitab al-Asyribah (mengenai minuman).
14)  Tahzib al-Akhlaq (mengenai akhlaq)
15)  Risalah fi al-Ladzdzat wa-Alam fi Jauhar al- Nafs (naskah di Istanbul, Raghib Majmu’ah no. 1463, lembar 57a-59a)
16)  Ajwibah wa As’ilah fi al-Nafs wal-Aql (dalam majmu’ah tersebut diatas dalam raghib majmu’ah di Istanbul)
17)  al-Jawab fi al-Masa’il al-Tsalats (naskah di Teheren, Fihrist Maktabat al-Majlis, II no. 634 (31)).
18)  Risalah fi Jawab fi su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-Aql (perpustakaan Mashhad di Iran, I no 43 (137)).
19)  Thaharat al-Nafs (naskah di Koprulu Istanbul no 7667).
Tahzib al-Akhlaq wa Tathhir Al-‘A’raq, secara umum buku ini membahas tentang jiwa, keutamaan akhlak, dan pendidikan akhlak bagi anak dan remaja serta orang tua. Selain itu berisi pembahasan tentang sumber-sumber  pdrilaku buruk dan cara pengobatannya. Tartib al-Sa’adah, buku ini berisi uraian mengenai petunjuk bagi manusia yang diperoleh dari pendapat Islam, Hindia, Persi, dan Yunani. Al-Fauz al-Asghar, buku ini berisi uraian filosofi antara lain mengenai kejadian alam, daya jiwa manusia, hubungan manusia dengan pencipta, hingga konsep kenabian. Ajwibah wa As’ilah fi al-Nafs wal-Aql, artikel ini mengupas secara lebih detil dan filosofis tentang daya-daya jiwa. Risalah fi al-Ladzdzat wa-Alam fi Jauhar al- Nafs, dalam artikel ini dijumpai uraian flosofis tentang kesempurnaan hidup manusia.
2.      Konsep manusia menurut Ibnu Miskawaih
Pemikiran pendidikan Ibnu Miskawaih tidak dapat dilepaskan dari konsepnya tentang manusia dan akhlak. Untuk kedua ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.       Jiwa – jasad dan Hubungan Keduanya.
Psikologi Miskawaih bertumpu pada ajaran spiritualistik tradisional Plato dan Aristoteles dengan kecenderungan Platonis. Pada tulisan awalnya Ibnu Miskawaihi menyatakan keterkaitan antara pembentukan watak dengan pendidikan dan ilmu jiwa. Katanya "Tujuan kami menyusun kitab ini (Tahzi-bul Akhlak) adalah untuk menghasiikan bagi diri kita suatu watak pribadi yang melahirkan perilaku yang baik seluruhnya dengan gampang, tak dibuat-buat lagi tanpa kesulitan (maksudnya perilaku yang baik lahir dari watak itu secara otomatis). Hal demikian diperoleh melalui proses pendidikan dan untuk memperoleh yang lebih dahulu mempelajari ilmu jiwa. "Jiwa itu menurut Ibnu Miskawaih adalah zat pada diri kita yang bukan berupa jasad, bukan pula bagian dari jasad, bukan pula aradh (sifat peserta pada substansi) wujudnya tidak memerlukan potensi tubuh, tapi dia jauhar basith (substansi yang tidak berdiri atas unsur-unsur) tak dapat diindra oleh pengindraan". Jiwa itu mempunyai aktifitas yang berlainan dengan aktifitas jasad serta bagian-bagiannya dengan segala sifat-sifatnya hingga tidak menyertainya dalam segala hal. Tegasnya jiwa itu bukan jasad, bukan pula bagian dari jasad. Jiwa itu tidak mengambil ruang, tidak berobah. Dia (jiwa) dapat menanggapi segala sesuatu secara serentak bersamaan dan tidak mengalami penyusutan, rusak atau berkurang.
Penggerak jasad manusia bukanlah jiwa malainkan natur materi itu sendiri. Oleh sebab itu, gerak jasad manusia bukanlah gerak melingkar tetapi berupa gerakan materi. Namun demikian, pada diri manusia terdapat jiwa al-nathiqat (berfikir).  Jiwa ini hakikatnya adalah akal yang berasal dari pancaran Tuhan. Jiwa yang oleh bahasa Al-Qur’an disebut al-ruh ditiupkan oleh Allah SWT tatkala janin sudah ada dalam rahim selama empat bulan[2]. Karena itu, jiwa yang demikian asal kejadiannya sama dengan asal kejadian malaikat. Jiwa pancaran Tuhan ini, menurut Ibnu Miskawaih bukan menjadi sebab tumbuh dan berkembangnya jasad janin manusia. Jasad janin manusia sudah tumbuh dan berkembang karena naturnya sendiri sebelum al-ruh ditiupkan Tuhan. Hakekatnya manusia memiliki dua unsur, yaitu jiwa sebagai wawasan spiritual berasal dari pancaran Tuhan dan jasad sebagai wawasan materialnya bermula dari alam materi. Paham dualis – jiwa  sebagai unsur ruhani dan jasad sebagai unsur materi – ini diterapkan juga oleh Ibnu Miskawaih terhadap setiap al – maujudat. Yang dimaksud Ibnu Miskawaih tentang unsur ruhani dalam al- maujudat  di luar manusia adalah daya gerak dari natur suatu benda. Kalau pernyataan ini benar, maka unsur ruhani yang ada pada manusia memiliki dua segi. Pertama, unsur ruhani yang memang sudah  ada pada natur jasad sebagai daya gerak dan berfungsi bagi tumbuh dan berkembangnya badan. Kedua, unsur ruhani yang berasal dari Tuhan yang datang setelah janin berumur empat bulan dalam kandungan ibu.
b.      Sumber perilaku dan kualitas mental
Yang dimaksud sumber perilaku disini adalah unsur pokok manusia yang menjadi sumber perilaku jasmani. Adapun kualitas mental yang dimaksud adalah unsur pokok manusia yang merupakan asas semua sifat batin (spiritual).
Menurut Ibnu Misawaih, unsur-unsur pokok yang menjadi sumber perilaku dan kualitas mental manusia tidak berkembang secara serempak. Daya yang pertama kali tampak pada diri manusia adalah daya bernafsu (al-bahimiyyat). Daya ini terwujud dalam aktifitas jasmani untuk makan-minum), tumbuh, dan berkembang biak.
Daya yang muncul sesudah itu adalah daya kebuasan/keberanian (al-ghadabiyyat). Daya ini melahirkan isyarat-isyarat gerak dan menangkap (melalui indra luar atau indra dalam) yang berguna bagi terpeliharanya hidup seperti bersuara kalau lapar dan meraba-raba untuk memperoleh makanan. Dengan daya ini manusia memiliki perilaku binatang, berupa kecenderungan untuk mengusir segala yang merugikan tubuh.
Adapun daya yang terakhir adalah daya berfikir (al-nathiqat). Daya ini merupakan daya kemanusiaan yang membedakannya dengan makhluk lain. Daya ini seara bertahap bisa mencapai kesempurnaan yang disebut oleh Ibnu Miskawaih dengan ‘aqil. Seperti telah disinggung sebelumnua, tingkat tertinggi daya ini adalah daya kerinduan kepada kebajikan mutlak (al-khair al-muthlaq) sehingga mampu menerima pancaran al-hikmat dari Tuhan. Daya seperti ini dapat juga dikatakan sebagai daya kemalaikatan dan ketuhanan. Karena daya ini merupakan sumber sifat cinta akan semua kebajikan dan pengetahuan.[3]
Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa, daya berfikir yang muncul pertama kali adalah daya malu. Di antara tanda datangnya masa ini ialah seseorang mulai memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dari yang buruk.
Dari uraian di atas dapat di pahami bahwa mekanisme kerja daya manusia bermula dari daya yang berpusat di perut dada kemudian disusul dengan berfungsinya daya yang berpusat di kepala.
Manusia yang mempunyai derajad paling tinggi yang dekat pada Allah adalah manusia yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan (manusia yang memiliki pengetahuan yang menyeluruh). Untuk meraih derajat manusia ideal harus dimulai dari kecintaan akan ilmu pengetahuan.
3.      Pokok keutamaan pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih
a.       Doktrin Jalan Tengah (Akhlak Moderasi)
Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan tengah. Ibnu Miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan atau posisi tengah antara dua ekstrim, akan tetapi Ibn Miskawaih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa manusia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa jiwa manusia ada tiga yaitu jiwa bernafsu (al-bahimmiyah), jiwa berani (al-Ghadabiyyah) dan jiwa berpikir (an-nathiqah)
Menurut Ibn Miskawaih posisi tengah jiwa bernafsu (al-bahimmiyah) adalah al-iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi tengah jiwa berani adalah pewira atau keberanian yang diperhitungkan dengan masak untung ruginya. Sedangkan posisi tengah dari jiwa pemikiran adalah kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan atau keseimbangan. Ketiga keutamaan akhlak tersebut merupakan poko atau induk akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat, dan sebagainya merupakan cabang dari ketiga induk ahklak tersebut[4].
Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibnu Miskawaih tidak membawa satu ayat pun dari al-Qur’an dan tidak pula membawa dalil dari hadits akan tetapi spirit doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran islam. Hal ini karena banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur’an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh boros tetapi juga tidak boleh kikir melainkan harus bersifat diantara kikir dan boros.
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu dalam gerak dinamis mengikuti gerak zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan dan ekstrim kelebihan. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi misalnya, pada masyarakat desa dan kota tidak dapat disamakan.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga flexibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan pokok keutamaan akhlak.[5]
b.      Konsep Pendidikan akhlak
Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Karena dasar pendidikan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Konsep pendidikan akhlak dari Ibn Miskawaih [6]dikemukakan sebagai berikut:
1)      Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap bathin yang mampu mendorong serta spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati.
2)      Fungsi Pendidikan
a)       Memanusiakan manusia
b)       Sosialisasi individu manusia
c)       Menanamkan rasa malu
3)      Materi Pendidikan Ahlak
Pada materi pendidikan Ibn Miskawaih ditujukan agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi didikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi yang dimaksud diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Ibnu Miskawaih menyebutkan tiga hal yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya yaitu:
a)       Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia
b)       Hal-hal yang wajib bagi jiwa
c)       Hal-hal yang wajib bagi hubungannya
Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia antara lain shalat, puasa dan sa’i. selanjutnya materi pendidikan ahklak yang wajib dipelajari bagi kebutuhan jiwa dicontohkan oleh Ibn Miskawaih dengan pembahasan akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesaran-Nya serta motivasi senang kepada ilmu dan materi yang terkait dengan keperluan manusia dengan manusia dicontohkan dengan materi ilmu Muammalat, perkawinan, saling menasehati, dan lain sebagainya.
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya manusia agar sebagai filosuf. Karena itu Ibn Miskawaih memberikan uraian tentang sejumlah ilmu yang dapat di pelajari agar menjadi seorang filosuf. Ilmu tersebut ialah:
a)       Matematika
b)       Logika dan
c)       Ilmu kealaman
Jadi, jika dianalisa dengan secara seksama, bahwa berbagai ilmu pendidikan yang diajarkan Ibn Miskawaih dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan semata-mata karena ilmu itu sendiri atau tujuan akademik tetapi  kepada tujuan yang lebih pokok yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia dan bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang maka akan semakin tinggi pula akhlaknya[7].
4)      Pendidikan dan anak didik
Pendidik dan anak didik mendapat perhatian khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Kecintaan anak didik terhadap gurunya menurut Ibn Miskawaih disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba kepada Tuhannya, akan tetapi karena tidak ada yang sanggup melakukannya maka Ibn Miskawaih mendudukan cinta murid terhadap gurunya berada diantara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan.
Seorang guru menurut Ibn Miskawaih dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam mencapai kejiwaan sejati. Guru sebagai orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikannya adalah kebaikan illahi. Dengan demikian bahwa guru yang tidak mencapai derajat nabi, terutama dalam hal cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya, dinilai sama dengan seorang teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diproleh ilmu dan adab.
Cinta murid terhadap guru biasa masih menempati posisi lebih tinggi daripada cinta anak terhadap orang tua, akan tetapi tidak mencapai cinta murid terhadap guru idealnya. Jadi posisi guru dapat juga diproleh ilmu dan adab.
Adapun yang dimaksud guru biasa oleh Ibn Miskawaih adalah bukan dalam arti guru formal karena jabatan, tetapi guru biasa memiliki berbagai persyaratan antara lain: bisa dipercaya, pandai, dicintai, sejarah hidupnya tidak tercemar di masyarakat, dan menjadi cermin atau panutan, dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.
Perlu hubungan cinta kasih antara guru dan murid dipandang demikian penting, karena terkait dengan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak positif bagi keberhasilan pendidikan.
5)      Lingkungan pendidikan
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai kebahagiaan (as-sa’adah) tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus berusaha atas dasar saling menolong dan saling melengkapi dan Ibnu Miskawaih juga berpendapat bahwa sebagai makhluk sosial, manusia kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitannya dengannya mulai dari saudara, anak, atau orang yang masih ada hubungannya dengan saudara atau anak, kerabat, keturunan, rekan, tetangga, kawan atau kekasih.[8]
Selanjutnya Ibn Miskawaih berpendapat bahwa salah satu tabiat manusia adalah memelihara diri karena itu manusia selalu berusaha untuk memperolehnya bersama dengan makhluk sejenisnya. Diantara cara untuk mencapainya adalah dengan sering bertemu. Manfaat dari hasil pertemuan diantaranya adalah akan memperkuat akidah yang benar dan kestabilan cinta kasih sesamanya. Upaya untuk ini, antara lain dengan melaksanakan kewajiban syari’at. Shalat berjama’ah menurut Ibn Miskawaih merupakan isyarat bagi adanya kewajiban untuk saling bertemu, sekurang-kurang satu minggu sekali. Pertemuan ini bukan saja dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan terdekat tetapi sampai tingkat yang paling jauh.
Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, menurut Ibn Miskawaih terkait dengan politik pemerintahan. Kepala Negara berikut aparatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakannya.
Karena itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa agama dan negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya saling menyempurnakan.
Lingkungan pendidikan selama ini dikenal ada tiga lingkungan pendidikan yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ibn Miskawaih secara eksplisit tidak membicarakan ketiga masalah lingkungan tersebut. Ibnu Muskawaih membicarakan lingkungan pendidikan dengan cara bersifat umum, mulai dari lingkungan sekolah yang menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintah sampai lingkungan rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anak. Lingkungan ini secara akumulatif berpengaruh terhadap terciptanya lingkungan pendidikan.
6)      Metodologi Pendidikan
Metodologi Ibn Miskawaih sasarannya adalah perbaikan akhlak, metode ini berkaitan dengan metode pendidikan akhlak. Ibn Miskawaih berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan bawaan atau warisan melainkan bahwa akhlak seorang dapat diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan. Maka usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan istilah metodologi.
Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibn Miskawaih dalam mencapai akhlak yang baik. Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (al-’adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Metode ini ditemui pula karya etika para filosof lain seperti halnya yang dilakukan Imam Ghazali, Ibn Arabi, dan Ibn Sina. Metode ini termasuk metode yang paling efektif untuk memperoleh keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Adapun pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah pengetahuan dan pengalaman berkenaan dengan hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seorang tidak akan hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik karena ia bercermin kepada perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain. Manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian mencurigai dirinya bahwa dirinya juga sedikit banyak memiliki kekurangan seperti orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya.[9] Dengan demikian, maka setiap malam dan siang ia akan selalu meninjau kembali semua perbuatannya sehingga tidak satupun perbuatannya terhindar dari perhatiannya.

























BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih didasarkan pada konsepnya tentang manusia. Tugas pendidikan akhlak adalah memperkokoh daya-daya positif yang dimiliki manusia agar mencapai tingkatan manusia yang seimbang/harmonis (al-‘adalat) sehingga perbuatannya mencapai tingkat perbuatan ketuhanan (af’al ilahiy-yat). Perbuatan yang demikian adalah perbuatan yang semata-mata baik dan yang lahir secara spontan.
2.      Pendekatan yang dipergunakan Ibnu Miskawaih untuk mencapai manusia yang seimbang/harmonis adalah:
a.       Daya bernafsu (al-bahimiyyat/al-syahwiyyat) diarahkan agar mencapai tingkat “mampu menjaga kesucian diri” (al-iffat), yakni tidak tenggelam dalam kenikmatan dan melampaui batas, bukan pula tidak mau berusaha untuk memperoleh kenikmatan sebatas yang diperlukan.
b.      Daya berani (al-nafs al-ghadabiyyat) diarahkan untuk mencapai tingkat “ keberanian” (al-syaja’at) yakni tidak takut  terhadap sesuatu yang seharusnya tidak ditakuti dan bukan pula berani terhadap sesuatu yang seharusnya tidak diperlukan sikap ini.
c.       Daya berfikir (al-nafs al-nathiqat) diarahkan untuk mencapai tingkat “kebijaksanaan” (al-hikma), yakni memiliki kemampuan rasional untuk membuat keputusan antara yang wajib dilakukan dan yang wajib ditinggalkan. Berarti pula tidak membekukan dan mengesampingkan daya pikir, padahal sebetulnya mempunyai kemampuan, bukan pula menggunakan daya pikir yang tidak lurus.
Metode yang digunakan untuk memperoleh keutamaan daya bernafsu dan daya berani adalah metode taqlid, doktrine, dan keteladanan. Adapun metode yang digunakan untuk memperoleh keutamaan daya berfikir adalah metode liberal yang intinya mengarah kepada kesadaran pribadi dan pengembangan nalar.
Materi utama untuk memperoleh keutamaan daya bernafsu dan daya berani adalah syari’at, sedangkan materi utama untuk memperoleh keutamaan daya berfikir adalah filsafat.
3.      Nilai yang terkandung dalam konsep pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih terletak pada penempatan syari’at dan falsafat. Syari’at dan fasafat ditempatkan pada posisi penting masing-masing. Syari’at penting pada tempatnya dan falsafat juga penting pada tempatnya. Agama bertolak dan bersumber dari iman, sedangkan falsafat dari akal. Agama ditaati dan tidak diperdebatkan segala perintah dan larangannya, sedangkan cara pemecahan dalam falsafat dilakukan atas dasar kebebasan pendapat dan menerima perdebatan. Agama mendahului falsafat/ kepentingan utama agama adalah untuk pendidikan manusia pada masa awal/sejak kecil, sedangkan falsafat hanya cocok untuk pendidikan orang dewasa/tua. Di antara manfaat falsafat  adalah untuk menyempurnakan akal, mengokohkan pikiran dan memperkuat jiwa.
4.      Spiritualitas pendidikan akhlak menurut konsep Ibnu Miskawaih terletak pada akhlak moderasi (doktrin jalan tengah). Akhlak moderasi intinya mengandung makna jalan lurus, benar, selamat, adil, harmonis, seimbang, dan utama. Akhlak yang demikian tidak hanya mengandung arti etos kerja yang tinggi dan nuansa dinamika individu dan  sosial melainkan juga selalu relevan dengan tantangan zamannya, tanpa menggolangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan akhlak. Hal ini dikarenakan setiap perkembangan menuntut adanya tarik menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan, dan efektivitas individu maupun sosial. Akhirnya, dapat ditegaskan bahwa dengan menggunakan doktrin jalan tengah dalam akhlak, manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.






Daftar Pustaka


.....................Terjemah Al-Quranul Karim
Nasution Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah,(Jakarta:UI Press.   1987), Cetakan 1.
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, (Jakarta:Belukar,2004),cet. I.
M.M.Syarif,Para Filosof Islam,cet.III.(Bandung:Mizan, 1996),h.84
Ahmad Syar'I,Fisafat Pendidikan Islam(Jakarta:Pustaka Firdaus, 2005),h.92
Hasymsyah Nasution MA,Filsafat Islam(Jakarta:Gaya Media Pratama, 1999),h.61
Muhammad Yusuf Musa,Bain al-Din wa al-Falsafah(Kairo:Dar al-Ma'Arif, 1971),h.70
 Abuddin Nata,Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam(Jakarta:Raja Grafindo, 2001),h.94








[1] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah,(Jakarta UI Press. 1987), Cetakan 1, h. 1-5
        [2] Al Quranul Karim, diantara ayat yang menyebut persoalan ini ialah: 1) surat al-Hijr (15); 28-31, 2) surat al-Sajdat (32);7-9, 3) surat Shad (38);71-74
[3]M.M.Syarif,Para Filosof Islam,cet.III.(Bandung:Mizan, 1996),h.84

[4] Ahmad Syar'I,Fisafat Pendidikan Islam(Jakarta:Pustaka Firdaus, 2005),h.92
[5] Hasymsyah Nasution MA,Filsafat Islam(Jakarta:Gaya Media Pratama, 1999),h.61
[6] Muhammad Yusuf Musa,Bain al-Din wa al-Falsafah(Kairo:Dar al-Ma'Arif, 1971),h.70
[7] Abuddin Nata,Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam(Jakarta:Raja Grafindo, 2001),h.94

[8] Syar'I,Fisafat Pendidikan,h.94
[9] Nata,Pemikiran Para Tokoh Pendidikan,h.12 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar