Cari Blog Ini

Kamis, 10 Januari 2013

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL


Muqoddimah

Pendidikan agama Islam bukan “muara gading” yang berdiri tegak jauh dari kehidupan social kemasyarakatan, tetapi berada ditengah-tengah masyarakat bahkan terintegrasi dalam realitas kehidupan masyarakat. Sehingga pendidikan agama Islam tidak bisa tidak akan dihadapkan pada kenyataan kehidupan masyarakat yang melingkupinya. Pendidikan agama Islam setidaknya dihadapkan pada dua hal yang paradoks yaitu kondisi masyarakat yang menerima dan masyarakat yang menolak. Disinilah diuji egalitarialistiknya pendidikan agama Islam dalam berbagai segi terutama isi, metode dan pola pelaksanaanya. Sebab jika salah pendekatan maka bukan hanya akan mengalami penolakan bahkan akan memunculkan phobia masyarakat serta implikasi-implikasi lain diluar dugaan nalar kemanusiaan.
Fakta bahwa masyarakat memiliki berbagai perbedaan adalah tantangan bagi pendidikan agama Islam yang mengemban amanah untuk menyampaikan ajaran Islam, agar sampai pada sasaran dengan benar. Dalam konteks ini persoalan yang muncul bukan hanya persoalan penolakan dari orang-orang yang tidak sepakat dengan ajaran Islam yang disampaikan melalui pendidikan agama Islam, tetapi kesalahan penafsiran dari orang-orang yang menerima ajaran Islam, sehingga menimbulkan aksi-kasi atau pemaknaan terhadap ajaran Islam yang tidak sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri.
Persoalan kekerasan mengatasnamakan agama yang terjadi saat ini seringkali menggunakan alibi menjalankan ajaran Islam (jihad), seperti menurut Imron (2009) pelaku bom terror yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia mereka mengatasnamakan agama dengan tujuan mendirikan Negara Islam. Ini tentunya bukan berarti mereka para pelaku kekerasan tidak faham dan mengerti agama tetapi bisa sebaliknya, mereka sangat faham dan mengerti ajaran agama.
Potensi ke-perbedaan pemahaman dan pemaknaan suatu ajaran menurupakan suatu yang sah dan tak terhindarkan, yang menjadi persoalan adalah munculnya klaim kebenaran dengan menafikkan kebenarana orang laian (cliam truth) akan menimbulkan ekses pada penghinaan kelompok lain, yang memiliki pemikiran dan pemaknaan yang berbeda. Hal ini sama dengan mengaku agama kita paling benar yang memiliki arti agama orang lain salah.
Maka kesalahan dalam memberikan makna terhadap ajaran yang disampaikan/dibawa oleh agama tidak hanya menimbulkan kesalahan cara bersikap dan beragama, lebih lanjutnya akan memberikan kontribusi pada ketidakbenaran dalam berkehidupan masyarakat. Karena agama pada hakekatnya tampil dalam kehidupan masyarakat untuk membangun kehidupan yang harmonis, dengan menghormati orang lain yang tidak seagama sekalipun.
Agama apapun dihadirkan didunia ini untuk kebaikan dan kesejahteraan manusia. memberikan aturan main (rule of game) dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak memaksakan untuk menyatu, tetapi memberikan kebebasan untuk menerima kebenaran, dan tidak mengharamkan perbedaan dalam memaknai, tidak mentolerir pemaksaan kehendak.
Maka pendidikan agama Islam sebagai wadah untuk mentransferkan nilai-nilai Islam, setidaknya diletakkan pada posisi yang arif terhadap kondisi masyarakat yang ada disekitarnya (local wisdom). Memberikan petunjuk kepada masyarakat yang masih dianggap salah dalam beragama karena keawamanya adalah suatu keniscayaan. Namun memberhangus dengan membabi buta semua yang tidak sejalan dengan sudut pandang keagamaan adalah suatu hal yang membutuhkan diskusi dan pemahaman yang lebih mendalam.
Sebab perbedaan yang melekat pada diri seseorang yang memunculkan indentitas, adalah hal yang tak dihindarkan. Setiap manusia terlahir dengan membawa identitas pribadi yang beragam baik suku, bahasa, ras, agama, golongan social, status social yang indentitas social. Indentitas pribadi yang melekat pada seseorang ada yang given namun juga ada yang hasil konstruk social. Sehingga keragamaan tersebut menimbulkan pola pandang terhadap satu persoalan dengan berbeda pula. Hal tersebut disebabkan oleh karena persoalan-persoalan yang negative atau karena memang tidak ada niatan apapun tetapi karena keberadaan pribadi yang terbatas untuk menerima dan memaknai sesuatu.
Umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, terjadi karena memang cara pandang seseorang dalam memahami suatu ajaran yang dipengaruhi oleh beground pribadi baik histories maupun penafsiran ajaran yang memungkinkan berbeda. Dan perbedaan itu selayaknya dimakani sebagai rahmat bukan bencana. Sebab jika tidak disikapi dengan ketoleransian maka akan memunculkan relasi social yang penuh ketegangan, saling menafikkan bahkan lebih jauh, upaya-upaya menghilangkan suatu identitas tertentu dengan paksaan. Dan dari upaya-upaya pemaksaan tersebut seringkali menimbulkan ketegangan dan konflik yang tak berkesudahan.

1. Pendidikan Agama Islam berbasis multicultural : mencari gagasan baru PAI
Sifat agama Islam adalah lurus (hanif), dan melapangkan (samhah), dan tentunya kondisi ini memberikan peluang terciptanya pendidikan agama Islam, yang mengemban misi ke-hanifan dan ke-samhan, dengan tidak memberikan peluang pada masuknya nilai-nilai diluar itu.
Menjadi keniscayaan bahwa pendidikan agama Islam setidaknya memberikan misi yang lebih toleran karena pendidikan agama Islam menjadi harapan bagi terciptanya suatu kondisi masyarakat yang baldatun toybatun warabul ghafur, masyarakat yang toto tentrem kerto rahajo,  dengan mengedepankan nilai-nilai musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan semua persoalan yang sedang dihadapi.
Kondisi bahwa pendidikan agama Islam tidak hanya memberikan bekal untuk meningkatkan kemampuan ritual beragama dan keyakinan tauhid, tetapi juga selayaknya pendidikan agama Islam memberikan bekal untuk meningkatkan akhlak social dan kemanusiaa. Pendidikan agama Islam hanya berorintesi vertical tetapi juga horizontal. Tidak hanya mengajarkan bagaimana menyembah Allah tetapi juga bagaimana menghormati orang lain, pun demikian orang tersebut berbeda keyakinan.
Ini merupakan tantanga bagi pendidikan agam Islam, setidaknya pola pendidikan agama Islam memiliki paradigma multukultural. Sehingga semua yang cenderung ekslusif menjadi inklusif. Setidaknya refleksi terhadap semua komponen Pendidikan agama Islam urgen untuk dilakukan dalam rangka membenahi pola pendidikan agama Islam agar tujuan pendidikan agama Islam sejalan dengan tujuan Islam sebagai suatu agama rahmatan lil alamin.
Pendidikan agama Islam sebagai manfestasi konkrit dalam mempertahankan nilai-nilai keagamaan yang disakralkan kebenarannya sebagimana Azra mengungkapakan bahwa pendidikan agama Islam dilekatkan pada dasar-dasar ajaran Islam dan seluruh perangkat kebudayaannya. Sehingga pendidikan dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan bagi masyarakat. Pendidikan agama Islam memiliki fungsi sebagai agent of culture dan tentunya memiliki manfaat bagi umat Islam. Dengan mengedepankan kesepemahaman terhadap nilai-nilai serta budaya orang lain.
Sebagaimana sering dilihat di beberapa literature tentang perbedaan, madzhab fiqh pernah mengatakan “Madzhabi shawab wa yahtamilu khata’, wa madzhabu ghairi khatha’ wa yahtamilu shawab” (Muhammad Abu Al-Fath  Al-Bayunni, 1983). Nilai-nilai Islam yang universal-transendental adalah keniscayaan yang tidak dipungkiri untuk tetap dipertahankan keberadaanya dan dijadikan suatu patokan dalam kehidupan konkrit. Nilai-nilai kejujuran, displin, kerja keras, hidup bertetagga dengan damai, kesederhanaan dan lain-lain adalah nilai-nilai yang dimiliki oleh semua agama dan juga dimiliki oleh agama Islam, yang tentunya menjadi muatan yang harus dimiliki oleh pendidikan agama Islam.
Sehingga pemahaman pendidikan yang “kritis” tentang kondisi social masyarakat adalah bekal pendidikan agama Islam yang berbasis multicultural. Sebab pemahaman yang kritis akan memberikan kontribusi positif pada pemahaman terhadap kelompok lain diluar pemahaman yang dimiliki. Sehingga pemafaham yang di harapkan didapat diri pendidikan agama Islam dibarengi dengan kesadaran untuk bersikap fair, adil, menghormati dan yang terpenting memahami kondisi social yang berbeda dikehidupan masyarakat sosialnya.

2. Tranformasi social dan Multikultural serta implikasinya terhadap Pendidikan agama Islam   
 Tidak dapat dinafikkan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang mutikultur, multireligius, multi etnis, multi bahasa serta lain sebagainya. Dalam konteks multikultur bangsa Indenesia berada pada posisi yang cukup kaya. Hal ini karena memang bangsa Indonesia merupakan Negara paling muti etnik dan lingistik kedua setelah papua new guine (Patrick Johnston). Kemajemukan bangsa Indonesia tidak hanya berimplikasi pada kehidupan social, tetapi juga pada kehidupan keagamaan.
Sehingga kondisi multicultural yang dimiliki oleh bangsa Indonesia juga memiliki implikasi terhadap pendidikan agama Islam. Kondisi ini dapat difahami mengingat pendidikan agama Islam harus berinterkasi dengan nilai-nilai dan agama lain yang telah dianut atau sedang dianut oleh masyarakat yang ada disekitarnya. Dialektika histories yang menghasilkan dialektika antar umat beragama, memaksa semua pihak untuk tidak eklusif terhadap pola dan cara serta kebenaran yang dianutnya.
Sebab pemaksaan kehendak hanya akan menimbulkan stigma negative yang selama ini dirasakan oleh umat Islam. Bahwa umat Islam suka kekerasan, teroris dan label-label negative lainnya. Maka pendidikan agama Islam harus berbenah atau akan mendapat sorotan yang tidak produktif dari kalangan diluar Islam.
Masyarakat yang terus berubah, dengan kondisi yang mengarah pada hal-hal yang kadang paradoks dengan ajaran Islam bahkan jauh menyimpang dari ajaran Islam adalah kondisi yang harus disikapi dengan bijaksana. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan agama Islam harus juga menarik dan populis tidak jumut dan terus memberikan warna dalam perubahan masyarakat yang berjalan cepat. Ini artinya pendidikan agama Islam memiliki baground historikal social masyarakat yang memaksa untuk terus melakukan inovasi agar tidak ditinggalkan orang bahkan oleh ummat.
Seperti tehnologi dan budaya yang senantiasa menjadi icon perubahan masyarakat, maka pendidikan agama Islam setidaknya memberikan kontribusi positif setidaknya memberikan filter tetapi bukan menabrak realitas. Dan akhirnya pendidikan agama Islam tidak hanya jauh tertinggal tetapi menjadi sesuatu yang dianggap mengganggu perubahan.

Kesimpulan
Pendidikan agama Islam merupakan wadah untuk memberikana pemahaman keagamaan yang inklusif kepada masyarakat yang akhirnya diharapkan dapat memberikan kontribusi pada terbentuknya masyarakat yang multikulturalisme dengan hidup yang harmonis.
Pendidikan agama Islam yang dilakukan dengan benar tidak akan berbenturan dengan masyarakat walaupun dalam perbedaan sekalipun. Sebab perbedaan adalah bukan sesuatu yang dipertentangkan tetapi dicarikan solusi untuk saling memahami.

                                            

Bahan Bacaan
M. Ainul Yaqin, M.Ed.,2005, Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk demokrasi dan keadilan, Jogjakarta,  Pilar Media,
Zainal Abidin, ed, 2009, Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme, Jakarta, PT. SAADAH Cipta Mandiri.
M. Nasir Tamara, ed, 1996, Agama dan Dialog Antar Peradaban,  Jakarta, Paramadina. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar