Muqoddimah
Pendidikan agama Islam bukan “muara gading” yang berdiri tegak jauh dari
kehidupan social kemasyarakatan, tetapi berada ditengah-tengah masyarakat
bahkan terintegrasi dalam realitas kehidupan masyarakat. Sehingga pendidikan
agama Islam tidak bisa tidak akan dihadapkan pada kenyataan kehidupan
masyarakat yang melingkupinya. Pendidikan agama Islam setidaknya dihadapkan
pada dua hal yang paradoks yaitu kondisi masyarakat yang menerima dan
masyarakat yang menolak. Disinilah diuji egalitarialistiknya pendidikan agama
Islam dalam berbagai segi terutama isi, metode dan pola pelaksanaanya. Sebab
jika salah pendekatan maka bukan hanya akan mengalami penolakan bahkan akan
memunculkan phobia masyarakat serta
implikasi-implikasi lain diluar dugaan nalar kemanusiaan.
Fakta bahwa masyarakat memiliki berbagai perbedaan adalah tantangan bagi
pendidikan agama Islam yang mengemban amanah untuk menyampaikan ajaran Islam,
agar sampai pada sasaran dengan benar. Dalam konteks ini persoalan yang muncul
bukan hanya persoalan penolakan dari orang-orang yang tidak sepakat dengan
ajaran Islam yang disampaikan melalui pendidikan agama Islam, tetapi kesalahan
penafsiran dari orang-orang yang menerima ajaran Islam, sehingga menimbulkan
aksi-kasi atau pemaknaan terhadap ajaran Islam yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam itu sendiri.
Persoalan kekerasan mengatasnamakan agama yang terjadi saat ini
seringkali menggunakan alibi
menjalankan ajaran Islam (jihad), seperti
menurut Imron (2009) pelaku bom terror yang terjadi diberbagai daerah di
Indonesia mereka mengatasnamakan agama dengan tujuan mendirikan Negara Islam.
Ini tentunya bukan berarti mereka para pelaku kekerasan tidak faham dan
mengerti agama tetapi bisa sebaliknya, mereka sangat faham dan mengerti ajaran
agama.
Potensi ke-perbedaan pemahaman dan pemaknaan suatu ajaran menurupakan
suatu yang sah dan tak terhindarkan, yang menjadi persoalan adalah munculnya
klaim kebenaran dengan menafikkan kebenarana orang laian (cliam truth) akan menimbulkan ekses pada penghinaan kelompok lain,
yang memiliki pemikiran dan pemaknaan yang berbeda. Hal ini sama dengan mengaku
agama kita paling benar yang memiliki arti agama orang lain salah.
Maka kesalahan dalam memberikan makna terhadap ajaran yang
disampaikan/dibawa oleh agama tidak hanya menimbulkan kesalahan cara bersikap
dan beragama, lebih lanjutnya akan memberikan kontribusi pada ketidakbenaran
dalam berkehidupan masyarakat. Karena agama pada hakekatnya tampil dalam kehidupan
masyarakat untuk membangun kehidupan yang harmonis, dengan menghormati orang
lain yang tidak seagama sekalipun.
Agama apapun dihadirkan didunia ini untuk kebaikan dan kesejahteraan
manusia. memberikan aturan main (rule of
game) dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak memaksakan untuk menyatu, tetapi
memberikan kebebasan untuk menerima kebenaran, dan tidak mengharamkan perbedaan
dalam memaknai, tidak mentolerir pemaksaan kehendak.
Maka pendidikan agama Islam sebagai wadah untuk mentransferkan
nilai-nilai Islam, setidaknya diletakkan pada posisi yang arif terhadap kondisi
masyarakat yang ada disekitarnya (local
wisdom). Memberikan petunjuk kepada masyarakat yang masih dianggap salah
dalam beragama karena keawamanya adalah suatu keniscayaan. Namun memberhangus
dengan membabi buta semua yang tidak sejalan dengan sudut pandang keagamaan
adalah suatu hal yang membutuhkan diskusi dan pemahaman yang lebih mendalam.
Sebab perbedaan yang melekat pada diri seseorang yang memunculkan
indentitas, adalah hal yang tak dihindarkan. Setiap manusia terlahir dengan
membawa identitas pribadi yang beragam baik suku, bahasa, ras, agama, golongan
social, status social yang indentitas social. Indentitas pribadi yang melekat
pada seseorang ada yang given namun
juga ada yang hasil konstruk social. Sehingga keragamaan tersebut menimbulkan
pola pandang terhadap satu persoalan dengan berbeda pula. Hal tersebut
disebabkan oleh karena persoalan-persoalan yang negative atau karena memang
tidak ada niatan apapun tetapi karena keberadaan pribadi yang terbatas untuk
menerima dan memaknai sesuatu.
Umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, terjadi karena memang cara
pandang seseorang dalam memahami suatu ajaran yang dipengaruhi oleh beground
pribadi baik histories maupun penafsiran ajaran yang memungkinkan berbeda. Dan
perbedaan itu selayaknya dimakani sebagai rahmat bukan bencana. Sebab jika
tidak disikapi dengan ketoleransian maka akan memunculkan relasi social yang
penuh ketegangan, saling menafikkan bahkan lebih jauh, upaya-upaya menghilangkan
suatu identitas tertentu dengan paksaan. Dan dari upaya-upaya pemaksaan
tersebut seringkali menimbulkan ketegangan dan konflik yang tak berkesudahan.
1. Pendidikan Agama Islam berbasis
multicultural : mencari gagasan baru PAI
Sifat agama Islam adalah lurus (hanif),
dan melapangkan (samhah), dan
tentunya kondisi ini memberikan peluang terciptanya pendidikan agama Islam,
yang mengemban misi ke-hanifan dan ke-samhan, dengan tidak memberikan peluang
pada masuknya nilai-nilai diluar itu.
Menjadi keniscayaan bahwa pendidikan agama Islam setidaknya memberikan
misi yang lebih toleran karena pendidikan agama Islam menjadi harapan bagi
terciptanya suatu kondisi masyarakat yang baldatun
toybatun warabul ghafur, masyarakat yang toto tentrem kerto rahajo, dengan mengedepankan nilai-nilai musyawarah
dan mufakat dalam menyelesaikan semua persoalan yang sedang dihadapi.
Kondisi bahwa pendidikan agama Islam tidak hanya memberikan bekal untuk
meningkatkan kemampuan ritual beragama dan keyakinan tauhid, tetapi juga selayaknya
pendidikan agama Islam memberikan bekal untuk meningkatkan akhlak social dan
kemanusiaa. Pendidikan agama Islam hanya berorintesi vertical tetapi juga
horizontal. Tidak hanya mengajarkan bagaimana menyembah Allah tetapi juga
bagaimana menghormati orang lain, pun demikian orang tersebut berbeda
keyakinan.
Ini merupakan tantanga bagi pendidikan agam Islam, setidaknya pola
pendidikan agama Islam memiliki paradigma multukultural. Sehingga semua yang
cenderung ekslusif menjadi inklusif. Setidaknya refleksi terhadap semua
komponen Pendidikan agama Islam urgen untuk dilakukan dalam rangka membenahi
pola pendidikan agama Islam agar tujuan pendidikan agama Islam sejalan dengan
tujuan Islam sebagai suatu agama rahmatan
lil alamin.
Pendidikan agama Islam sebagai manfestasi konkrit dalam mempertahankan
nilai-nilai keagamaan yang disakralkan kebenarannya sebagimana Azra
mengungkapakan bahwa pendidikan agama Islam dilekatkan pada dasar-dasar ajaran
Islam dan seluruh perangkat kebudayaannya. Sehingga pendidikan dipandang
sebagai alat untuk mencapai tujuan bagi masyarakat. Pendidikan agama Islam
memiliki fungsi sebagai agent of culture
dan tentunya memiliki manfaat bagi umat Islam. Dengan mengedepankan
kesepemahaman terhadap nilai-nilai serta budaya orang lain.
Sebagaimana sering dilihat di beberapa literature tentang perbedaan,
madzhab fiqh pernah mengatakan “Madzhabi
shawab wa yahtamilu khata’, wa madzhabu ghairi khatha’ wa yahtamilu shawab”
(Muhammad Abu Al-Fath Al-Bayunni, 1983).
Nilai-nilai Islam yang universal-transendental adalah keniscayaan yang tidak
dipungkiri untuk tetap dipertahankan keberadaanya dan dijadikan suatu patokan
dalam kehidupan konkrit. Nilai-nilai kejujuran, displin, kerja keras, hidup
bertetagga dengan damai, kesederhanaan dan lain-lain adalah nilai-nilai yang
dimiliki oleh semua agama dan juga dimiliki oleh agama Islam, yang tentunya
menjadi muatan yang harus dimiliki oleh pendidikan agama Islam.
Sehingga pemahaman pendidikan yang “kritis” tentang kondisi social
masyarakat adalah bekal pendidikan agama Islam yang berbasis multicultural.
Sebab pemahaman yang kritis akan memberikan kontribusi positif pada pemahaman
terhadap kelompok lain diluar pemahaman yang dimiliki. Sehingga pemafaham yang
di harapkan didapat diri pendidikan agama Islam dibarengi dengan kesadaran
untuk bersikap fair, adil,
menghormati dan yang terpenting memahami kondisi social yang berbeda
dikehidupan masyarakat sosialnya.
2. Tranformasi social dan Multikultural
serta implikasinya terhadap Pendidikan agama Islam
Tidak dapat dinafikkan bahwa
bangsa Indonesia
merupakan bangsa yang mutikultur, multireligius, multi etnis, multi bahasa
serta lain sebagainya. Dalam konteks multikultur bangsa Indenesia berada pada
posisi yang cukup kaya. Hal ini karena memang bangsa Indonesia merupakan Negara paling
muti etnik dan lingistik kedua setelah papua new guine (Patrick Johnston).
Kemajemukan bangsa Indonesia
tidak hanya berimplikasi pada kehidupan social, tetapi juga pada kehidupan
keagamaan.
Sehingga kondisi multicultural yang dimiliki oleh bangsa Indonesia
juga memiliki implikasi terhadap pendidikan agama Islam. Kondisi ini dapat
difahami mengingat pendidikan agama Islam harus berinterkasi dengan nilai-nilai
dan agama lain yang telah dianut atau sedang dianut oleh masyarakat yang ada disekitarnya.
Dialektika histories yang menghasilkan dialektika antar umat beragama, memaksa
semua pihak untuk tidak eklusif terhadap pola dan cara serta kebenaran yang
dianutnya.
Sebab pemaksaan kehendak hanya akan menimbulkan stigma negative yang
selama ini dirasakan oleh umat Islam. Bahwa umat Islam suka kekerasan, teroris
dan label-label negative lainnya. Maka pendidikan agama Islam harus berbenah
atau akan mendapat sorotan yang tidak produktif dari kalangan diluar Islam.
Masyarakat yang terus berubah, dengan kondisi yang mengarah pada hal-hal
yang kadang paradoks dengan ajaran Islam bahkan jauh menyimpang dari ajaran
Islam adalah kondisi yang harus disikapi dengan bijaksana. Tetapi tidak dapat
dipungkiri bahwa pendidikan agama Islam harus juga menarik dan populis tidak
jumut dan terus memberikan warna dalam perubahan masyarakat yang berjalan
cepat. Ini artinya pendidikan agama Islam memiliki baground historikal social masyarakat yang memaksa untuk terus
melakukan inovasi agar tidak ditinggalkan orang bahkan oleh ummat.
Seperti tehnologi dan budaya yang senantiasa menjadi icon perubahan
masyarakat, maka pendidikan agama Islam setidaknya memberikan kontribusi
positif setidaknya memberikan filter tetapi bukan menabrak realitas. Dan
akhirnya pendidikan agama Islam tidak hanya jauh tertinggal tetapi menjadi
sesuatu yang dianggap mengganggu perubahan.
Kesimpulan
Pendidikan agama
Islam merupakan wadah untuk memberikana pemahaman keagamaan yang inklusif
kepada masyarakat yang akhirnya diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
terbentuknya masyarakat yang multikulturalisme dengan hidup yang harmonis.
Pendidikan agama
Islam yang dilakukan dengan benar tidak akan berbenturan dengan masyarakat
walaupun dalam perbedaan sekalipun. Sebab perbedaan adalah bukan sesuatu yang
dipertentangkan tetapi dicarikan solusi untuk saling memahami.
Bahan Bacaan
M. Ainul Yaqin,
M.Ed.,2005, Pendidikan Multikultural
Cross-Cultural Understanding untuk demokrasi dan keadilan, Jogjakarta , Pilar Media,
Zainal Abidin,
ed, 2009, Pendidikan Agama Islam dalam
Perspektif Multikulturalisme, Jakarta ,
PT. SAADAH Cipta Mandiri.
M. Nasir
Tamara, ed, 1996, Agama dan Dialog Antar
Peradaban, Jakarta , Paramadina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar